Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan beberapa pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan RI dalam agenda pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2024. Dalam rapat yang tersebut, Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan memberikan beberapa catatan terkait dengan pengelolaan utang negara, mulai dari besarnya SILPA setiap tahun, tingginya yield dibanding negara ASEAN, hingga kulminasi utang di masa depan.
“Saya ingin memberikan beberapa penekanan, karena bagaimanapun juga pagu indikatif ini kan kita buat, rencana kerja ini kita buat, untuk membuat Kementerian Keuangan terutama dirjen terkait dengan pembiayaan dan risiko ini supaya perform dalam mengelola utang kita. Salah satu tugasnya kan seperti itu,” tutur Marwan.
Dalam rapat tersebut Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa setiap tahunnya terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang cukup besar padahal uang tersebut didapatkan dari pembiayaan utang. Marwan mencontohkan SILPA pada tahun 2020 menembus Rp245 triliun, SILPA tahun 2021 sebesar Rp84,9 triliun dan sebesar Rp111 triliun untuk SILPA tahun 2022.
“Ini kan sederhananya kita ngomong ini uang sisa yang tidak terpakai, padahal sejatinya uang ini kita peroleh dari pembiayaan artinya dari utang. Nah ini tentu tidak di pure Bapak, tentu yang belanja juga harus dimarahin karena kenapa udah hutangin kok nggak belanja, kan gitu? Tetapi ini bagian dari evaluasi kita, makin besar SILPA yang tersisa dari APBN kita berarti makin besar juga uang hasil pinjaman yang tidak kita pakai dan ini adalah uang yang berbunga,” ungkap legislator Dapil Lampung II itu.
Hal lain yang menjadi penekanan adalah mengenai tingginya yield atau imbal hasil investasi. Marwan menilai imbal hasil yang ada di Indonesia terbilang sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Sebelumnya, Dirjen PPR menyampaikan bahwa dengan ajuan pagu indikatif Rp21,39 miliar untuk ‘Program Perbendaharaan, Kekayaan Negara dan Risiko’ maka ditetapkan target imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara sebesar (6,49 persen – 6,91 persen) sebagai indikator program.
“Yang kedua tentang yield yang terjadi setiap tahun. Indonesia ini tinggi sekali biaya bunganya itu lho antara 6 sampai 7 persen. Ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Nah, ini harus jadi solusi ke depan. Jangan kita nyaman karena kemudahan – kemudahan, kita pinjam via SBN akibatnya kita tidak kreatif untuk mencari dana-dana yang lebih murah. Ini catatan ke dua pak, kalau ini bagian bapak,” ujar Marwan pada pada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Suminto yang hadir pada kesempatan tersebut.
Catatan terakhir yang disampaikan oleh anggota Badan Anggaran DPR RI itu adalah terkait catatan BPK mengenai kulminasi utang yang akan terjadi pada periode 2025-2030. Hal tersebut diperkirakan terjadi lantaran adanya pinjaman yang jatuh tempo secara bersamaan. Menutup pernyataannya, Marwan berharap DJPPR dapat memberikan perhatian pada tiga poin yang disampaikannya tersebut.
“Nah jadi pada tiga sektor tersebut, Saya minta untuk menjadi perhatian Pak Suminto beserta jajarannya pertama terkait SILPA mungkin tidak 100 persen di Bapak, yang kedua terkait imbal hasil pinjaman, yang ketiga terkait kulminasi hutang 2025-2030,” tutup Marwan.
Selain Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, hadir pula pada kesempatan yang sama Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Kekayaan Negara, Dirjen Perimbangan Keuangan dan beberapa Kepala BLU yang bernaung di bawah Kemenkeu