Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyarankan pemerintah untuk melakukan ekstentifikasi atau memperluas jenis barang kena cukai ketimbang terus-menerus menaikkan CHT yang justru memukul sektor lain. Politikus Partai Golkar itu mengkritisi pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu tentang isu kesehatan dan dana bagi hasil (DBH) sebagai alasan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.
“Pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara. Kenaikan tarif CHT telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan,” ujar Misbakhun melaui rilis yang diterima Parlementaria di Jakarta, Senin (7/11/2022). Misbakhun mengutip tabel indikator capaian kesehatan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2023 yang disusun Kemenkeu.
Merujuk data itu, persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok pada 2013 masih di angka 7,2 persen. Namun, angka itu turun menjadi 3,8 persen pada 2020. “Data ini yang menyusun juga BKF. Di situ jelas disebutkan persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok sudah turun,” ucap Misbakhun.
Tabel yang sama juga menunjukkan kenaikan prevalensi diabetes melitus pada penduduk. Pada 2013, prevalensi penduduk dengan diabetes di angka 6,9 persen, tetapi pada 2018 meningkat ke menjadi 8,5 persen. Selain itu, persentase penduduk berusia 10-18 tahun yang mengalami obesitas juga melonjak, dari 14,8 persen pada 2013, menjadi 21,8 persen pada 2018.
Misbakhun juga memperkuat argumennya dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (Susenas) 2020 dari BPS menunjukkan prevalensi perokok pemula turun drastis. Prevalensi perokok anak juga mengalami penurunan dari 9,1 persen pada 2018, menjadi 3,81 persen pada tahun 2021. “Malah pada 2021 angkanya turun lagi menjadi 3,69 persen,” ucap Misbakhun.
Oleh karena itu, Misbakhun menganggap argumen BKF tentang kenaikan CHT untuk menurunkan prevalensi anak dan remaja yang merokok sudah tidak relevan. Dia justru mencurigai agenda asing di balik kenaikan CHT. “Itu semua sebagai argumentasi karena hanya karena para pengambil kebijakan di BKF diisi oleh agen global yang merupakan bagian yang menjalankan kepentingan Bloomberg Philanthropic yang antitembakau dengan melakukan implan kepentingan mereka pada jalur pengambil keputusan negara,” ujar Misbakhun.
Misbakhun juga menyinggung soal pembagian dana bagi hasil dari CHT yang relatif kecil bila dibandingkan dengan seluruh penerimaan cukai. Dia mencontohkan beberapa daerah penerima DBH CHT seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Data di lima daerah tersebut memperlihatkan hanya sebagian kecil kegiatan yang didanai DBH CHT bisa terealisasi secara penuh atau mencapai 100 persen.
“Penggunaan DBH CHT juga sangat tidak berpihak peada petani tembakau. Isi peraturan penggunaan DBH CHT sangat sulit dilaksanakan untuk memperkuat kepentingan daerah penerimanya dan banyak menjadi SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran),” kata Misbakhun.
Oleh karena itu, Misbakhun meminta pemerintah mengajak berbagai pihak berbicara soal CHT. Menurutnya, isu CHT bukan hanya tentang kesehatan dan penerimaan negara, melainkan juga soal tenaga kerja, petani, pertanian, industri, dan rokok ilegal.
“Lakukan rembuk bersama dengan semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka menentukan peta jalan atau roadmap kebijakan yang berkeadilan. Sebaiknya pemerintah menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT,” tutupnya.
Sumber:dpr.go.id