Oleh Hafid Abbas
(Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta)
Pada dua-tiga dekade terakhir abad ke-20, Conny R Semiawan dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang pendidik, tokoh nasional, Ilmuwan, dan Guru Besar Ilmu Pendidikan, dan Rektor pertama perempuan Indonesia. Saya amat bersyukur, dapat mengenal dari dekat sosok dan peribadi seorang Conny. Dalam masa yang relatif panjang, selama lebih tiga dekade, kedekatan itu terjalin karena beliau adalah dosen dan promotor saya ketika kuliah di Pascasarjana IKIP Jakarta (UNJ) dari September 1986 hingga Agustus 1990.
Setelah itu, saya diangkat oleh beliau sebagai asistennya untuk dua matakuliah yang diembannya yakni Filsafat Ilmu, dan Isu-isu Kontemporer Pendidikan di jenjang pendidikan doktoral. Demikian juga, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Konsorsium Ilmu Pendidikan (KIP) di era Fuad Hassan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), saya ditugaskan beliau sebagai salah seorang stafnya yang menangani beragam hal yang terkait dengan tugas-tugas sehari-hari KIP, menelaah beragam persoalan keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Berikut ini dikemukakan refleksi singkat atas jasa, keteladanan dan karya monumental Conny di dunia pendidikan yang patut dirawat abadi di negeri tercinta ini.
Pertama, Conny adalah seorang tokoh yang senantiasa memelihara pergaulan intelektualnya di tingkat nasional dan internasional. Sebagai asisten dan staf beliau, saya sering diajak mendampinginya ke berbagai pertemuan ilmiah dan pertemuannya dengan para pejabat negara, Menteri, para tokoh dan ilmuwan tidak hanya di lingkungan Kementerian P dan K, tetapi juga di institusi lainnya.
Bahkan saya pernah ditugaskan mengikuti pertemuan internasional di Manila yang diselenggarakan oleh the Association of Southeast Institutions of Higher Learning (ASAIHL) dan pertemuan UNESCO di New Delhi. Juga, beliau telah mengizinkan saya mengikuti pendidikan post-doctoral di Syracuse University, New York (1991).
Ketika Soedjatmoko, Rektor Universitas PBB Tokyo (1980-1987), baru kembali ke tanah air saya dua kali mendampingi Conny ke kediamaan Soedjatmoko yang disapanya Bung Koko. Ada dua hal yang menarik dari dialog beliau dengan Koko. Pertama, Koko melihat sumber persoalan besar satu bangsa ketika para ilmuwannya larut dalam budaya konformitas (culture of conformity).
Mereka tidak lagi kritis menyuarakan nurani intelektualnya untuk kepentingan bangsanya. Jika ini terjadi maka bangsa itu cenderung bergerak ke arah otoritarian karena tertutup dari pandangan kritis. Dampak lainnya, bangsa itu tidak akan maju dan akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain karena dasar pengambilan kebijakan-kebijakan strategisnya bermutu rendah, tidak berasal dari kajian ilmiah.
Karenanya, Koko berpesan agar warga kampus tetaplah kritis menyuarakan pandangan keilmuannya meski harus berbeda dengan suara penguasa. Ciri kehidupan akademik memang selalu dinamis karena menghendaki perubahan yang lebih baik. Sedangkan ciri kekuasaan sebaliknya karena mempertahankan comport zone dan stabilitas meski harus melalui kepalsuan. Koko mengapresiasi Emil Salim karena meski ia berada di lingkaran kekuasaan, tetapi ia tetap tegar menyuarakan pandangan intelektualnya.
Kerisauan Koko berikutnya adalah semakin melebarnya kesenjangan sosial di banyak negara di Asia. Ia mencontohkan India, para ilmuwannya terlihat menjauh dari persoalan bangsanya, seperti persoalan kemiskinan. Pemerintahnya menikmati kenyamanan kekuasaan, tetapi masyarakatnya dibiarkan tetap berada di alam keterbelakangannya.
Ini berbeda dengan Jepang sebagai negara yang dinilai oleh Koko, para ilmuwannya dan pemerintahnya selalu bergandengan tangan. Kampus bagai otaknya negara yang selalu memberi masukan berharga kepada politisinya dalam setiap pengambilan kebijakan bagi kemajuan bangsanya.
Koko berharap agar warga Kampus tetaplah sensitif terhadap persoalan sosial bangsa dan tidak menggunakan toga keilmuannya sebagai karcis untuk mendekat atau mengemis kekuasaan.
Ketika mengetahui bahwa Koko telah meninggal, ia terjatuh dari fodium pada saat memberi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 21 Desember 1989, seingat saya Muchlis R Luddin, Nusa Putra, Sugeng Suparwoto bersama saya menemani Conny melayat ke kediaman Koko di Menteng. Saya sempat melihat wajah Koko dari dekat dan membacakan doa dengan rasa haru atas kepergian salah seorang putra terbaik bangsa ini, seorang filsuf, diplomat, dan seorang ilmuwan berkaliber internasional. Ketika saya menoleh ke belakang untuk memberi kesempatan ke pelayat lainnya mendekat ke jasad Koko, ternyata persis di belakang saya ada Pak Harto yang juga datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada Koko.
Conny juga dekat dengan Makaminan Makagiansar, yang pernah memimpin UNESCO sebagai Asisten Direktur Jenderal UNESCO, dan ia pernah diundang oleh Conny untuk memberi kuliah umum di IKIP Jakarta.
Pada 19 Juni 1993, Feredrico Mayor, Dirjen UNESCO menyerahkan Avicenna Award kepada Presiden Soeharto karena Indonesia dinilai sebagai salah satu negara paling sukses menjalankan universalisasi pendidikan dasarnya. Pada saat itu, Makagiansar hadir mendampingi Mayor di Istana. Saat itu, saya menyaksikan pula suasana bahagia dari sejumlah Guru Besar IKIP Jakarta yang hadir di Istana, antara lain: Conny, Soedijarto, Napitupulu, Tilaar, Anah Suhaenah, dsb. Mereka sesungguhnya adalah arsitek yang telah amat berjasa pada keberhasilan Indonesia itu.
Dengan kedekatan Conny ke Makagiansar, saya pernah diusulkan untuk membantu UNESCO. Bahkan, Makagiansar pernah merekomendasikan saya ke Dirjen UNESCO untuk duduk sebagai salah seorang Direktur di UNESCO Paris, karena ia menilai saya ada pengalaman membantu UNESCO PROAP untuk wilayah Asia Pasifik sebagai Konsultan Internasional pada Asia Pacific Program of Education for All (APPEAL).
Kedua, Conny adalah seorang tokoh yang tidak enggan bersuara berbeda dengan kekuasaan. Sebagai Rektor IKIP Jakarta, di berbagai pertemuan dengan Menteri, dan pejabat lainnya di lingkungan kementerian P dan K, saya sering melihat respon beliau ketika ada pihak yang menuding rendahnya mutu guru yang berpangkal dari rendahnya mutu lulusan IKIP. Conny secara spontan menolak tudingan itu dengan santun menunjukkan bahwa penghasil guru bukan hanya dari 12 IKIP, tetapi ada Dikdasmen yang juga menghasilkan guru SD melalui SPG dan SGO, ada STKIP, FKIP, IAIN, STAIN, dst.
Juga, Conny bersuara berbeda ketika ada kebijakan yang memberi kesempatan ke PTN terkemuka di negeri ini untuk mencetak guru bidang studi Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi dan Bahasa Inggeris. Conny menilai kebijakan itu diskriminatif karena anggarannya jauh lebih tinggi dan memberi kesan IKIP amat tertinggal di semua bidang itu. Conny meminta agar program elitis itu dievaluasi dan dibandingkan dengan mutu lulusan IKIP yang menggunakan anggaran yang jauh lebih rendah. Hasilnya, ternyata, lulusan IKIP masih lebih baik dibanding dengan lulusan UI, ITB, UGM dan PTN lain yang telah diberi mandat menyelenggarakan pendidikan guru karena peminatnya ternyata bukanlah dari siswa yang berprestasi. Akhirnya, program inovatif itu tidak berlanjut.
Ketiga, Conny adalah seorang tokoh yang melembagakan gagasannya. Sebagai tokoh yang dinilai sukses melahirkan Lab-school IKIP Jakarta, dan sukses membantu sebagai konsultan pada pendirian SMA Taruna Nusantara Magelang, saya pernah ditugaskan beliau ke berbagai daerah untuk membantu pengembangan Sekolah Unggulan Berasrama di berbagai wilayah, seperti ke Irian Jaya untuk pengembangan SMA 17 Agustus sebagai sekolah unggulan, ke Jambi untuk pendirian Sekolah Unggulan Titian Teras, Sekolah Al-Kautsar di Lampung, dan SMA Taruna Bumi Khatulistiwa di Pontianak. Kepercayaan pemerintah dan masyarakat luas kepada Conny, kelihatannya terus berlanjut hingga ke era Wardinan Djojonegoro sebagai Menteri P dan K terakhir di era Orde Baru.
Terakhir, Conny juga dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan berbagai kalangan, termasuk dengan mahasiswa, aktivis dan media. Ia juga dekat dengan tokoh-tokoh agama. Suatu hari, saya menemani beliau menerima Menteri Agama Munawir Zjadzali. Ada kesan yang menarik dari dialog santai antara keduanya, kata sang Menteri:
“Ada seorang yang dipenjara sekian tahun karena telah divonis bersalah atas berbagai kasus pencurian yang telah dilakukannya. Namun ketika menjalani hukumannya di penjara, orang ini terlihat berperilaku sebalinya. Ia terlihat amat rajin beribadah. Ketika ditanya oleh salah seorang sipir Penjara. “Pak, saya melihat Anda ini adalah orang yang taat beribadah, shalat tepat waktu, tetapi Anda juga di sisi lain telah melakukan berbagai kejahatan pencurian.” Si Napi ini menjawab, “lho apa yang salah di sini Pak Sipir. Saya kan beragama Islam, shalat adalah kewajiban saya, tetapi mencuri adalah pekerjaan saya.”
Munawir hanya ingin memberi kesan bahwa Agama belum terinternalisasi dalam perilaku sehari-hari bagi sebagian umat beragama. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan. Menyatukan kepribadian yang retak dengan mengharmoniskan tuturan, pikiran dan perilaku dengan menguatkan tegaknya kultur keteladanan. Tentu amat sulit membiasakan anak rajin beribadah apabila anak melihat ayahnya rajin berjudi.
Terima kasih guruku Professor Conny, hidupmu telah memberi cahaya di hati dan pikiran kami muridmu, semoga cahaya itu akan terus terpancar ke berbagai sudut kehidupan di pelanit ini. “ars longa vita brevis” – cahayamu abadi meski hidupmu singkat.
Sumber:Klikers.id