Oleh : Saat Suharto Amjad (Waka II BAZNAS (BAZIS), Founder TAMZIS)
Kereta Gajayana merapat dengan mulus di stasiun Purwokerto, weekend ini sebagaimana biasanya saya mesti ke Wonosobo untuk ngantor juga pagi harinya. Seusai sholat maghrib dan isya’ lalu jalan kaki sebentar menyusuri jalan Pemuda mengambil mobil yang terparkir di garasi salah satu kantor di Purwokerto.
Perjalanan tengah malam itu dilanjutkan dengan mobil ke kota “The Soul of Java“. Meski dikritik oleh risk menejemen di kantor tapi saya memang lebih senang pegang kemudi sendiri karena lebih asyik, adrenalin bisa terpacu dan nggak cepet pikun, katanya… Itu alasan saja untuk pengiritan, “efektif efisien” Bahasa korporat nya.
Mengemudi tengah malam sesungguhnya enak dan menyenangkan serta “gas-able” karena jalanan kosong, tapi kondisi jalan kadang tidak mendukung seperti bergelombang dan tidak ada lampu seperti di jalan lingkar Purbalingga yang saya lewati, baru saja kecepatan saya tingkatkan dari 40-60 km/jam tiba-tiba di depan meski remang terlihat ada kilauan metalik yang sudah masuk dalam jangkauan lampu dekat, maka dengan terkejut saya injak rem hingga ban berdecit dan hentakan ABS (Antilock Brake System) terasa di ujung pedal rem.
Nyaris saja motor tanpa lampu dengan dua anak muda tanggung tanpa helm itu tertabrak mobil. Motor pun melaju pelan tanpa merasa bahwa nyawanya hampir saja terenggut dan ulahnya yang tidak memenuhi kaidah berkendara yang aman itu bisa membahayakan orang lain pula.
Mengemudikan lembaga pada banyak hal memiliki syarat dan ketentuan serta etika yang beririsan dengan mengemudikan mobil.
Karena ada ruang publik yang digunakan bersama, apalagi jika lembaga itu menggunakan dana publik maka kita mesti bersiap untuk memiliki etika dan sistem pelaporan dan keamanan yang baik dan di awasi oleh regulator serta masyarakat seperti tulisan-tulisan di Bus dan truk truk yang melaju “Hubungi no ini jika sopir membahayakan”.
Mengemudi mobil pribadi sebenarnya juga lebih komplek daripada mengemudikan Bus. Karena sopir harus menyiapkan lebih dahulu mobil, inspeksi selayaknya rutin di lakukan. Belum lagi harus merangkap peran menjadi kernet dan kondektur sekaligus.
Kerumitan akan lebih kompleks lagi manakala para penumpang nya yaitu anak anak rewel dan rebutan mainan serta nggak mau mengalah maka acara suka ria yang di harapkan malah menjadi ajang perang terbuka, apalagi jika ditambahi istri ikut rewel pula maka kelar rasanya hidup.
Mengemudikan kendaraan umum, apalagi milik perusahaan bonavit tentu lebih terjamin karena mesin senantiasa terkondisikan, tekanan ban, rem, lampu, dll. Senantiasa di inspeksi bahkan untuk trip yang panjang seringkali tersedia dua sopir yang bisa bergiliran.
Nah, karena tanggungjawab terhadap penumpang yang tinggi maka regulator pun mewajibkan uji petik kendaraan secara reguler. Pun mesti pula sopir lulus uji kepantasan dan kepatutan untuk mendapatkan SIM B atau C umum.
Karena tanggungjawab terhadap penumpang pula maka penumpang berhak untuk menilai kendaraan dan pengemudinya atau kepo terhadap pengelolaannya sehingga jika kendaraan umum dengan aplikasi maka penumpang boleh me-rating mobil/motor atau pengemudinya sehingga terhindar dari bau apak helm atau jaket pengemudi yang sudah tiga purnama tidak di cuci.
Lembaga Philanthropy
Demikianlah yang terjadi pula pada lembaga philanthropy, sesungguhnya besar atau kecil lembaga tersebut adalah sama sama lembaga publik yang mengelola dana amanah, maka harus tunduk pada regulasi regulasi yang di berlakukan pada lembaga publik tersebut dan tunduk pada kepantasan dan kepatutan norma norma yang berlaku secara makruf.
Nah, menjadi persoalan jika mengelola lembaga publik itu seperti mengelola lembaga privat apalagi seperti mengelola lembaga milik sendiri maka sebagaimana PO bus milik keluarga yang enggan bertransformasi dengan standar-standar industri maka akan gulung tikar di tinggal penumpangnya karena standar keamanan yang di korbankan atau ditinggal pengemudinya karena manajemen yang amburadul, atau seperti sopir mobil keluarga yang ditinggal bertengkar para penumpang tadi.
Untungnya dalam lembaga zakat di Indonesia ekosistemnya sudah relatif tertata, ada standar kompetensi untuk para pengelola sehingga setiap amil harus lolos uji kompetensi, ada forumnya yang menjadi katalisator dan self regulatory organization (SRO) yang membuat pedoman-pedoman yang sangat dinamis pada industri dan mengatur kode etik pengelola dan institusinya (code of conduct). Dan ada regulator nya yakni BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Kementerian Agama RI.
Ekosistem yang komplit ini menjadikan mengemudi di dunia zakat di Indonesia relatif sulit zig zag atau ngebut serampangan karena banyak pengemudi lain yang akan segera buka jendela… “Heh lihat jalan Bro… ”
Sebagai pengemudi kendaraan umum harus pula ngerti dan taat syariah. Jika tidak maka seperti pengojek yang tidak mengakadkan dengan jelas di awal sehingga ongkos nya mengandung ketidak jelasan (ghoror) yang di larang atau setelah kesepakatan dibuat malah tidak mengantarkan sesuai amanah.
Prinsip ketaatan kepada syariah ini tentu sangat menjadi panduan dan ditekankan dalam dunia zakat karena sebagai amil pada dasarnya ketika berakad dengan Muzakki maka seorang amil telah menjadi perwakilan dari Muzakki untuk menyampaikannya kepada yang berhak (mustahik).
Lebih jauh sebagai seorang amil terdapat tanggung jawab untuk menyampaikan akan tetapi tanpa menjadikan terluka hatinya, merasa tidak mampu atau justru menjadi tergantung.
Sungguh gagallah seorang amil jika membuat tangan yang tadinya suka memberi justru menjadi tengadah menjadi tangan di bawah.
Sebagaimana angkutan umum yang sangat-sangat di perlukan apalagi di kota kota besar dimana angkutan pribadi justru menjadi sumber kemacetan. Maka memberikan kepercayaan kepada lembaga Pengelola dana umat (selain merupakan anjuran agama) juga menjadikan dana sosial menjadi lebih efektif efisien, tepat guna dan berdaya guna.
Apalagi jika kita membaca dengan baik bahwa zakat infaq shadaqah itu harus disampaikan kepada “assaaili wal mahrum” Kepada yang memintaminta maupun yang menjaga kehormatan dengan tidak meminta.
Rasanya dana ZISWAF akan menyentuh orang-orang yang menjaga kehormatannya dengan tidak meminta jika di kelola secara sungguh-sungguh oleh suatu lembaga yang amanah sebagaimana bapak ibu sidang pembaca dapat lihat saat ini di Indonesia.
Akhirnya, sebagai pengemudi senior yang jadwal mengaspalnya dapat ditandingkan dengan sopir AKAP, yang panggilan menyopirnya senantiasa merontaronta oleh semburat pagi dan birunya lembayung petang, yang menikmati tahajjud diatas kemudi atau mendengarkan Gus Baha’ atau UAH, UAS mengaji, yang sering kali merasa di nasehati oleh tulisan tulisan di Bak-Bak Truk, saya ingin menasehati kepada sesama sopir… “Drive Safely Brother… (Titidijae)..